Model komunikasi antar budaya menurut Knapp-Potthoff
Annelie Knapp-Potthoff (1997) mendefinisikan budaya sebagai komunitas komunikasi yang menentang konsep budaya yang statis dan monolitik. Namun, permasalahannya adalah adanya banyak keanggotaan orang di dalam bermacam-macam komunitas dan dinamika menjadikan sangat sulit untuk memisahkan komunitas komunikasi ini dan menentukan kapan situasi lintas budaya terjadi (Boeckmann 2006).
Knapp-Potthoff mendefinisikan kompetensi antarbudaya sebagai berikut:
die Fähigkeit, mit Mitgliedern fremder Kommunikationsgemeinschaften ebenso erfolgreich Verständigung zu erreichen wie mit denen der eigenen, dabei die im einzelnen nicht genau vorhersehbaren, durch Fremdheit verursachten Probleme mit Hilfe von Kompensationsstrategien zu bewältigen und neue Kommunikationsgemeinschaften aufzubauen (Knapp-Potthoff, 1997:196)
Menurut Knapp-Potthoff, yang dimaksud dengan istilah „Kommunikationsgemeinschaft“ (komunitas komunikasi) dalam hal ini adalah budaya atau masyarakat. Menurut dia, peserta komunikasi harus memenuhi kualitas afektif, seperti empati dan toleransi. Mereka juga sebaiknya memiliki pengetahuan spesifik mengenai suatu budaya, khususnya bahwa budaya sendiri berbeda dari budaya asing, dan pengetahuan tentang budaya serta komunikasi secara umum.
Orang yang tahu apa yang dibutuhkan untuk komunikasi yang sukses dapat mengimbangi kurangnya pengetahuan konkret. Memahami budaya asing, mengurangi prasangka, dan kemampuan untuk mentolerir adalah tiga buah aspek yang membentuk dasar untuk strategi yang diperlukan dalam komunikasi antarbudaya. Knapp-Potthoff lebih lanjut membedakan dua jenis strategi utama, sebagai berikut:
Strategi Interaksi: Pada saat berkomunikasi, seseorang harus sebaiknya menghindari sesuatu hal yang tabu. Untuk dapat membangun komunikasi yang baik, kita harus mencari kesamaan, misalnya: bahasa universal atau latar belakang pendidikan dan pengalaman serupa.
Strategi belajar untuk memperluas dan membedakan pengetahuan khusus budaya: Ini dapat menjadi alat bantu bagi mitra komunikasi, dengan siapa mereka dapat secara mandiri memperbesar basis pengetahuan mereka. Di satu sisi, hal ini bisa menjadi teknik bertanya dan mengamati, dan di sisi lain, itu juga bisa menjadi pelanggaran yang disengaja terhadap konvensi yang disepakati (Knapp-Potthoff, 1997: 203).
Knapp-Potthoff (1997) menyarankan sebuah model yang sesuai untuk definisi kompetensi interaksi lintas budaya. Model ini membedakan antara (a) tujuan afektif (toleransi dan empati), (b) „pengetahuan yang berhubungan dengan komunikasi secara umum“ dan „kesadaran komunikasi lintas budaya“, (c) pengetahuan khusus budaya, serta (d) strategi komunikasi, pembelajaran, dan penelitian.
Elemen-elemen dalam model ini lebih ringkas dan lebih meyakinkan terutama pada strategi untuk pembelajaran dan komunikasi. Menurutnya, interaksi yang sukses tidak hanya terjadi ketika individu menggunakan standar yang sama, tetapi ketika mereka menggunakan strategi untuk menyeimbangkan kurangnya standar umum. Knapp-Potthoff mengidentifikasi empat komponen interaksi lintas budaya. Keempat komponen ini penting untuk mengatasi situasi yang ada dan saling bergantung satu sama lain.
Oleh karena itu, kompetensi lintas budaya memerlukan kemampuan yang komprehensif untuk berinteraksi. Komponen kognitif, afektif dan perilaku tersebut harus dapt berfungsi dengan baik. Menurut Helmholt (1994), kompetensi lintas budaya ada hubungannya dengan tingkat kesadaran dan tingkat perilaku. Tidak ada resep universal untuk interaksi yang sukses dalam situasi lintas budaya. Meskipun demikian, kompetensi lintas budaya berkontribusi pada interaksi yang lebih baik dan dapat mengurangi kesalahpahaman (Bernhard 2002).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar