Senin, 19 September 2022

Komunikasi Antarbudaya

Komunikasi Antarbudaya didefinisikan sebagai situasi komunikasi antara individu-individu atau kelompok yang memiliki asal-usul bahasa dan budaya yang berbeda. Ini berasal dari definisi dasar berikut: komunikasi adalah hubungan aktif yang dibangun antara orang melalui bahasa, dan sarana antarbudaya bahwa hubungan komunikatif adalah antara orang-orang dari budaya yang berbeda, di mana budaya merupakan manifestasi terstruktur perilaku manusia dalam kehidupan sosial dalam nasional spesifik dan konteks lokal, misalnya politik, linguistik, ekonomi, kelembagaan, dan profesional.

Asumsi fundamental juga dikemukakan oleh James Neuliep bahwa selama terjadi komunikasi antarbudaya, pesan yang dikirim kadang-kadang bukan pesan yang diterima oleh komunikan. Berikut asumsi fundamental dalam komunikasi antarbudaya yakni: 

1. Asumsi pertama : “During intercultural communication,the message sent is usually not the message received”. Selama komunikasi antarbudaya, pesan terkirim biasanya bukan pesan yang diterima. Setiap kali orang-orang dari budaya yang berbeda datang bersamasama dan terjadi pertukaran pesan, mereka membawa budaya berupa berbagai macam pemikiran, nilainilai, emosi, dan perilaku yang mengakar dan dibudidayakan.

2. Asumsi kedua : Intercultural communication is primarily a nonverbal act between people. Komunikasi Antarbudaya pada dasarnya merupakan suatu tindakan nonverbal antara orang-orang. Dibalik komunikasi verbal, komunikasi non verbal menjadi penguat komunikasi. 

3. Asumsi Ketiga : Intercultural communication necessarily involves a clash of communicator style. Komunikasi Antarbudaya harus melibatkan pertemuan berbagai gaya komunikator. Di Amerika Serikat, kepandaian berbicara adalah komoditas yang sangat dihargai. Orang-orang rutin dievaluasi dari pidato mereka. Namun diam-yaitu, mengetahui kapan tidak berbicara-adalah prasyarat mendasar untuk linguistik dan kompetensi suatu budaya. 

4. Asumsi Keempat : Intercultural communication is a group phenomenon experienced by individuals. Komunikasi Antarbudaya adalah fenomena kelompok yang dialami oleh individu. Setiap kali berinteraksi dengan orang dari budaya yang berbeda yang dibawa adalah asumsi dan penampilan dari orang lain. Interaksi spesifik berupa lisan dan pesan nonverbal yang dipertukarkan biasanya disesuaikan berdasarkan asumsi-asumsi dan penampilan tersebut. 

5. Asumsi kelima : Intercultural communication is a cycle of stress and adaptasi. Ketika seseorang datang bersama-sama dengan orang dari budaya yang berbeda, akan muncul perasaan tidak pasti, khawatir, dan cemas. Perasaan seperti itu mengakibatkan stres. Oleh karena itu komunikasi antarbudaya, kadang-kadang mendatangkan stress (Stella Ting Toomey, 1999:24).

Minggu, 18 September 2022

Model komunikasi antar budaya menurut Knapp-Potthoff


Annelie Knapp-Potthoff (1997) mendefinisikan budaya sebagai komunitas komunikasi yang menentang konsep budaya yang statis dan monolitik. Namun, permasalahannya adalah adanya banyak keanggotaan orang di dalam bermacam-macam komunitas dan dinamika menjadikan sangat sulit untuk memisahkan komunitas komunikasi ini dan menentukan kapan situasi lintas budaya terjadi (Boeckmann 2006).

Knapp-Potthoff mendefinisikan kompetensi antarbudaya sebagai berikut:

die Fähigkeit, mit Mitgliedern fremder Kommunikationsgemeinschaften ebenso erfolgreich Verständigung zu erreichen wie mit denen der eigenen, dabei die im einzelnen nicht genau vorhersehbaren, durch Fremdheit verursachten Probleme mit Hilfe von Kompensationsstrategien zu bewältigen und neue Kommunikationsgemeinschaften aufzubauen (Knapp-Potthoff, 1997:196)

Menurut Knapp-Potthoff, yang dimaksud dengan istilah „Kommunikationsgemeinschaft“ (komunitas komunikasi) dalam hal ini adalah budaya atau masyarakat. Menurut dia, peserta komunikasi harus memenuhi kualitas afektif, seperti empati dan toleransi. Mereka juga sebaiknya memiliki pengetahuan spesifik mengenai suatu budaya, khususnya bahwa budaya sendiri berbeda dari budaya asing, dan pengetahuan tentang budaya serta komunikasi secara umum.

Orang yang tahu apa yang dibutuhkan untuk komunikasi yang sukses dapat mengimbangi kurangnya pengetahuan konkret. Memahami budaya asing, mengurangi prasangka, dan kemampuan untuk mentolerir adalah tiga buah aspek yang membentuk dasar untuk strategi yang diperlukan dalam komunikasi antarbudaya. Knapp-Potthoff lebih lanjut membedakan dua jenis strategi utama, sebagai berikut:

Strategi Interaksi: Pada saat berkomunikasi, seseorang harus sebaiknya menghindari sesuatu hal yang tabu. Untuk dapat membangun komunikasi yang baik, kita harus mencari kesamaan, misalnya: bahasa universal atau latar belakang pendidikan dan pengalaman serupa.

Strategi belajar untuk memperluas dan membedakan pengetahuan khusus budaya: Ini dapat menjadi alat bantu bagi mitra komunikasi, dengan siapa mereka dapat secara mandiri memperbesar basis pengetahuan mereka. Di satu sisi, hal ini bisa menjadi teknik bertanya dan mengamati, dan di sisi lain, itu juga bisa menjadi pelanggaran yang disengaja terhadap konvensi yang disepakati (Knapp-Potthoff, 1997: 203).

Knapp-Potthoff (1997) menyarankan sebuah model yang sesuai untuk definisi kompetensi interaksi  lintas budaya. Model ini membedakan antara (a) tujuan afektif (toleransi dan empati), (b) „pengetahuan yang berhubungan dengan komunikasi secara umum“ dan „kesadaran komunikasi lintas budaya“, (c) pengetahuan khusus budaya, serta (d) strategi komunikasi, pembelajaran, dan penelitian.

Elemen-elemen dalam model ini lebih ringkas dan lebih meyakinkan terutama pada strategi untuk pembelajaran dan komunikasi. Menurutnya, interaksi yang sukses tidak hanya terjadi ketika individu menggunakan standar yang sama, tetapi ketika mereka menggunakan strategi untuk menyeimbangkan kurangnya standar umum. Knapp-Potthoff mengidentifikasi empat komponen interaksi lintas budaya. Keempat komponen ini penting untuk mengatasi situasi yang ada dan saling bergantung satu sama lain.

Oleh karena itu, kompetensi lintas budaya memerlukan kemampuan yang komprehensif untuk berinteraksi. Komponen kognitif, afektif dan perilaku tersebut harus dapt berfungsi dengan baik. Menurut Helmholt (1994), kompetensi lintas budaya ada hubungannya dengan tingkat kesadaran dan tingkat perilaku. Tidak ada resep universal untuk interaksi yang sukses dalam situasi lintas budaya. Meskipun demikian, kompetensi lintas budaya berkontribusi pada interaksi yang lebih baik dan dapat mengurangi kesalahpahaman (Bernhard 2002).

  Model - Model Komunikasi Antar Budaya menurut Furnham & Bochner, Berlo-Liliweri  MODEL FURNHAM DAN BOCHNER             Dalam model Fur...